Rabu, 28 Mei 2008



JAKARTA – Satu lagi grup band Yogyakarta hadir setelah Sheila On 7 dan Jikustik. Namanya Satoe (Gogor: vokal, gitar elektrik/akustik. Bronto: bas. Antok: gitar elektrik. Edwin: dram, tamborin, kibor). Pilihan nama yang tertera singkat dan tegas itu, jelas mengandung makna tertentu. Dimulai dari berdirinya, yakni tanggal 1 Januari 2000. Di samping itu ada beberapa maksud hebat dari nama Satoe. Sebutlah itu satu tujuan bermusik, satu visi, dan mereka ingin tetap menjadi satu kesatuan.
Apa sesungguhnya konsep bermusik Satoe?
”Yang pasti, kami berlaku dinamis, tidak jelimet, dan berharmonisasi dengan dua gitar melodi,” ujar Gogor.
Lajur modern rock memang menjadi pilihan utama. ”Sesuai dengan selera kami dari dulu. Kami tidak mau menipu diri dengan apa yang disenangi. Ciri kami pasti dikenali dari melodi lagunya,” sambung Gogor, saat Satoe berjumpa wartawan di kantor Sony Music.
Seluruh lagu Satoe terdiri dari musik 3 bagian. ”Janganlah puas berhenti di refrain.Terus push, cari nada yang terbaik agar dapat bagian ketiga,” dijelaskan Gogor. Contoh pertama dari musik 3 bagian ciptaan Satoe bisa didengar dari singel perdana bertajuk ”Malam”. Dalam lagu itu disajikan eksplorasi sound musik gothic modern dengan ritme etnik ritual.
Lagu unggulan Satoe itu ternyata menyimpan sejumlah cerita menarik di dalamnya. ”Lagu itu lahir ketika Gogor tidak bisa tidur. Kangen dengan seseorang entah siapa. Suatu proses pengalaman mistis …,” kenang adik Anggun Cipta Sasmi itu.
Suasana aneh berlanjut saat mereka merekam musiknya di studio. ”Gitar akustik yang dimainkan Gogor, tidak mau pas-pas terus nyetem-nya. String di-safe tidak bisa masuk, sampai mundur satu bulan hanya karena lagu itu,” ini diceritakan Bronto.
”Aku sampai kehabisan suara, dan terpaksa lompat ke lagu lain dulu,” tambah Gogor Gubah Nugroho.
Secara keseluruhan, lirik lagu-lagu Satoe merupakan ciptaan Gogor. ”70 persen pengalaman pribadi, sisanya 30 persen dari curhat teman-teman,” sahutnya menjawab SH.
Yang paling menyentuh dari seluruh lirik ciptaannya, Gogor menyebut ”Kawanku”, yang terinspirasi saat dia membaca sebuah buku tasawuf modern karya Buya Hamka.
Akan tetapi yang personal banget adalah lagu ”Saat Tak Ada Lagi”. ”Kisah pengalaman putus cinta dengan cewek Yogya,” ucapnya tanpa kesedihan.
Berbeda dengan karier musik kakaknya yang sangat didukung pihak keluarga, Gogor malah mengaku sempat dimarahi orangtua. ”Kuliah mahal-mahal, malah ngeband,” kisahnya, mengenang komentar ayah dan ibunya.
Dia mengerti perihal keraguan yang muncul di benak orang tuanya itu. Pasalnya, dia memang menganggap lebih penting kuliah. Apalagi dia pernah menolak (saat masih SMP) diajak Achmad Albar membentuk band bersama anaknya, Fauzy. (jjs)